Wanayasa adalah sebuah daerah di kaki Gunung Burangrang, dan
sekian juta tahun yang lalu berada di kaki Gunung Sunda (lihat peta
rekonstruksi Gunung Sunda). Ketika Gunung Sunda meletus, abu volkaniknya
melahirkan tanah yang subur di daerah sekitarnya, termasuk Wanayasa. Selain itu
juga, melahirkan cekungan-cekungan dalam radius 100 km, yang kemudian di bagian
selatan Gunung Sunda dikenal dengan sebutan cekungan Danau Bandung Purba. Di
bagian utara, diduga cekungan tersebut masih menyisakan jejaknya yang kini
dikenal dengan nama Situ Wanayasa dan Situ Cibeber, yang disebut masyarakat
setempat sebagai “pangparatan” Situ Wanayasa.
Tanda-tanda
bahwa Situ Wanayasa merupakan situ alam antara lain dengan banyaknya sumber air
di area dan di dalam Situ Wanayasa itu sendiri. Oleh karena itu, sampai
sekarang belum diketahui kedalaman sesungguhnya dari Situ Wanayasa tersebut,
karena tak pernah kering sama sekali. Bentuknya seperti kuali (katel), yang
membuat “tambakan” Situ Wanayasa sangat kokoh, dengan bagian terdalam diduga
berada di bagian barat daya Pasir Mantri sekarang. Oleh karena itu, anggapan
bahwa Situ Wanayasa merupakan situ yang dibuat pada zaman Dalem Santri, sulit
diterima. Pasalnya, beberapa catatan Belanda dan sumber-sumber naskah kuna
mengisyaratkan, Situ Wanayasa sudah ada jauh sebelum Dalem Santri lahir. Kisah
tentang Eyang Tambak, misalnya, menurut tokoh masyarakat Wanayasa yang sudah
berusia lanjut seperti Kiai Atang (Ama Atang) serta beberapa tokoh tua lainnya,
bukan “membuat” tambakan Situ Wanayasa, namun “memperbaiki” tambakan tersebut
yang suka bocor dan “urug” di beberapa bagian yang tanahnya labil. Eyang Tambak
(nama aslinya belum teridentifikasi) adalah salah seorang tokoh yang disegani
di Wanayasa pada masanya, sehingga ia diangkat menjadi pengatur air dari Situ
Wanayasa untuk kepentingan persawahan yang airnya mengandalkan Situ Wanayasa.
Eyang Tambak diperkirakan hidup sektar abad ke-19. Dan jauh sebelum masa itu
Situ Wanayasa sudah ada. Artinya usia Situ Wanayasa jauh lebih tua daripada Dalem
Santri maupun Eyang Tambak
Luas
Situ Wanayasa membentang sekitar 17 ha. Namun sekarang luasnya tinggal
menyisakan sekitar 7 ha lagi. Sisanya telah berubah menjadi persawahan
penduduk. Terdapat empat penclut (bukit kecil) di area Situ Wanayasa dan empat penclut
lagi berada di pinggir situ tersebut. Kini yang tersisa hanya penclut Pasir
Mantri. Di setiap penclut tersebut terdapat makam dan petilasan kuna, yang erat
kaitannya dengan perjalanan sejarah Wanayasa. Makam dan petilasan lainnya juga
terdapat di sekitar daerah Wanayasa. Misalnya saja Makam Dalem Santri, Bupati
Karawang yang memindahkan ibukota Kabupaten Karawang dari Bunut ke Wanayasa,
terletak di penclut pertama dari timur. Tepatnya di Kampung Cibulakan, Desa
Babakan, Kecamatan Wanayasa.
Sedangkan
di Pasir Mantri, penclut keempat yang kini merupakan satu-satunya penclut yang
berada di tengah Situ Wanayasa, terdapat makam Kiai Warga Nala (Kiai Agung) dan
Mas Bagus Jalani (Kiai Gede). Keduanya merupakan tokoh ulama di Wanayasa.
Tampaknya Pasir Mantri ini merupakan kompleks pemakaman tokoh-tokoh agama
(ulama) di Wanayasa. Sayangnya makam lainnya yang ada di Pasir Mantri, sekitar
delapan atau sembilan makam lagi, belum teidentifikasi.Beberapa situs dan
petilasan menandakan, bahwa sejak zaman prasejarah diduga telah ada kehidupan
di Wanayasa. Antara lain dengan ditemukannya kapak batu di Pasir Kuda. Kemudian
pada zaman sejarah, sebelum masuknya agama Islam ke Wanayasa, diduga telah ada
kehidupan masyarakat yang mempunyai kepercayaan lama dan Hindu-Budha. Antara
lain ditandai dengan ditemukannya Batu Kasur, Batu Tanceb, Batu Tapak, arca
Nandi (Batu Babantengan) yang diduga saat itu merupakan wilayah Kerajaan Saung
Agung.
Pada zaman
Kerajaan Sunda (Pajajaran), tercatat dalam beberapa naskah kuna, antara lain
Carita Parahiyangan dan Bujangga Manik, di Wanayasa terdapat sebuah kerajaan
bernama Kerajaan Saung Agung dengan rajanya Ratu Hyang Banaspati. Ada dugaan
bahwa Batu Tapak di Cekselong (Desa Babakan, Kecamatan Wanayasa) merupakan
tinggalan pada masa itu. Walaupun kepastiannya memerlukan penelitian lebih
lanjut.
Kerajaan
Saung Agung merupakan kerajaan-wilayah Kerajaan Sunda terakhir yang ditaklukkan
oleh Kerajaan Cirebon pada masa kepemimpinan Syarif Hidayatullah atau lebih
dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Pada tahun 1530,bagian utara Tatar Sunda
yang berbatasan dengan Sungai Citarum, sebelah timur telah dapat dikuasai oleh
Kerajaan Cirebon. Sedangkan bagian barat dikuasai Banten. Nama Saung Agung,
menurut Edi S. Ekadjati kemudian diganti dengan Wanayasa, yang merupakan
reduplikasi dari nama yang dibawa dari Cirebon. Hal itu tampaknya ditandai pula
dengan banyaknya kesamaan nama tempat yang berada di Wanayasa dan sekitarnya
(termasuk Purwakarta) dengan nama yang terdapat di wilayah Cirebon (termasuk Kuningan,
Majalengka, dan Indramayu). Nama-nama itu antara lain: Wanayasa, Sindangkasih,
Ciracas (di Cirebon Caracas, sama dengan di Kalijati), Cibuntu, Panembahan,
Pawenang, Lemah Duhur, Gandasoli, Leuwihujan, Gembong (di Cirebon Gembongan),
Maniis, Plered, Palumbon (di Cirebon Plumbon), Bunder, Bongas, Depok, dan
banyak lagi yang lainnya.
Di
bagian selatan Wanayasa (Kecamatan Beber Kabupaten Cirebon), terdapat tiga nama
berdekatan membentuk segitiga, yakni Bakom, Karanganyar, Cipulus. Nama yang
sama terdapat pula di bagian selatan Wanayasa (Purwakarta), juga dengan posisi
membentuk segitiga, yakni Cibakom, Karanganyar, Cipulus. Bedanya Bakom di
Cirebon menjadi Cibakom di Wanayasa (Purwakarta). Di antaranya juga ada dua
gunung yang bernama sama: Gunung Sembung (di Sukatani dan Cirebon) serta Gunung
Karung (di Maniis dan Luragung). Walaupun pada perkembangan selanjutnya
terdapat nama-nama kampung atau daerah yang tampaknya sangat lazim di wilayah
kekuasaan Kerajaan Mataram saat itu, antara lain Kampung Krajan. Nama Kampung
Krajan terdapat hampir di seluruh Pulau Jawa, dari Jawa Timur hingga Banten.
Teori reduplikasi ini didukung pula oleh hasil-hasil penelitian para ahli
genetika sejarah seperti Paul Michel Munoz.
Di bidang
pemerintahan, Wanayasa pernah menjadi kaumbulan dengan nama Umbul Aranon. Dan
ketika merupakan bagian dari Tatar Ukur di bawah Dipati Ukur Wangsanata bernama
Ukur Aranon dengan nama umbulnya Ngabei Mertawana. Bersama Ukur Sagalaherang
dan Ukur Krawang disebut sebagai Ukur Nagara Agung, merupakan bagian dari Ukur
Sasanga bersama enam wilayah lainnya di Bumi Ukur. Ketika Tatar Ukur diubah
menjadi Kabupaten Bandung di bawah Tumenggung Wira Angun-angun, Ukur Aranon
termasuk di dalamnya.
Diduga
kuat nama Wanayasa pada saat itu sudah ada, walaupun belum menjadi nama wilayah
administratif pemerintahan. Barulah pada tahun 1681 Wanayasa dipersiapkan untuk
menjadi kabupaten. Lalu pada tanggal 16 Agustus 1684 Kabupaten Wanayasa
diresmikan dengan bupatinya yang pertama Raden Demang Suradikara. Yang kemudian
mendapat gelar Aria, sehingga namanya menjadi Radem Aria Suradikara, yang lebih
dikenal dengan nama Dalem Aria. Pengganti Dalem Aria, menurut sumber-sumber
tradisional berturut-turut adalah: Dalem Panengah, Dalem Rajadinata, Dalem
Raden Suradikara II, Dalem Raden Suradikara III, dan Dalem Raden Suradikara IV
atau Dalem Sumeren. Kabupaten Wanayasa dibubarkan pada tahun 1789 dan
digabungkan dengan Kabupaten Karawang. Lalu sempat digabungkan dengan Kabupaten
Sumedang, dan digabungkan kembali dengan Kabupaten Karawang.
Ketika
Wanayasa merupakan afdeeling bagian dari Kabupaten Sumedang, Wanayasa dijadikan
ibukota Keresidenan Priangan sejak tahun 1816, yang membawahi
Kabupaten-kabupaten: Sumedang, Bandung, Cianjur, Sukapura, dan Limbangan.
Residennya saat itu adalah W.C van Motman. Bahkan ketika Wanayasa digabungkan
kembali dengan Kabupaten Karawang pada tahun 1820, ibukota Keresidenan Priangan
masih tetap di Wanayasa, paling tidak sampai tahun 1824. Padahal saat itu
Wanayasa juga dijadikan ibukota Kabupaten Karawang sejak tahun 1821.
Keresidenan Priangan dipindahkan ke Cianjur tahun 1829.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar