Biografi
Syeikh Haji Abdul Muhyi
Pada saat berusia 19 tahun beliau pergi
ke Aceh/ Kuala untuk berguru kepada Syeikh Abdul Rouf bin Abdul Jabar selama 8
tahun yaitu dari tahun 1090 -1098 H/1669 -1677 M. Pada usia 27 tahun beliau
beserta teman sepondok dibawa oleh gurunya ke Baghdad untuk berziarah ke makam
Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani dan bermukim di sana selama dua tahun. Setelah
itu mereka diajak oleh Syeikh Abdul Rauf ke Makkah untuk menunaikan Ibadah
Haji.
Ketika sampai di Baitullah, Syeikh
Abdul Rauf mendapat ilham kalau diantara santrinya akan ada yang mendapat
pangkat kewalian. Dalam ilham itu dinyatakan, apabila sudah tampak tanda-tanda
maka Syeikh Abdul Rauf harus menyuruh santrinya pulang dan mencari gua di Jawa
bagian barat untuk bermukim di sana.
Suatu saat sekitar waktu ashar di
Masjidil Haram tiba-tiba ada cahaya yang langsung menuju Syeikh Abdul Muhyi dan
hal itu diketahui oleh gurunya (Syeikh Abdur Rauf) sebagai tanda-tanda
tersebut. Setelah kejadian itu, Syeikh Abdur Rauf membawa mereka pulang ke
Kuala/ Aceh tahun 1677 M. Sesampainya di Kuala, Syeikh Abdul Muhyi disuruh
pulang ke Gresik untuk minta restu dari kedua orang tua karena telah diberi
tugas oleh gurunya untuk mencari gua dan harus menetap di sana. Sebelum
berangkat mencari gua, Syeikh Abdul Muhyi dinikahkan oleh orang tuanya dengan
“Ayu Bakta” putri dari Sembah Dalem Sacaparana.
Tak lama setelah pernikahan, beliau
bersama istrinya berangkat ke arah barat dan sampailah di daerah yang bernama
Darma Kuningan. Atas permintaan penduduk setempat Syeikh Abdul Muhyi menetap di
Darmo Kuningan selama 7 tahun (1678-1685 M). Kabar tentang menetapnya Syeikh
Abdul Muhyi di Darmo Kuningan terdengar oleh orang tuanya, maka mereka menyusul
dan ikut menetap di sana.
Perjalan Mencari Goa Pamijahan
Disamping untuk
membina penduduk, beliau juga berusaha untuk mencari gua yang diperintahkan
oleh gurunya, dengan mercoba beberapa kali menanam padi, ternyata gagal karena
hasilnya melimpah. Sedang harapan beliau sesuai isyarat tentang keberadaan gua
yang di berikan oleh syeikh Abdur Rauf adalah apabila di tempat itu ditanam
padi maka hasilnya tetap sebenih artinya tidak menambah penghasilan maka di
sanalah gua itu berada. Karena tidak menemukan gua yang dicari akhirnya Syeikh
Abdul Muhyi bersama keluarga berpamitan kepada penduduk desa untuk melanjutkan
perjalanan mencari gua.
Setelah menempuh
perjalanan yang cukup panjang, sampailah di daerah Pamengpeuk (Garut Selatan).
Di sini beliau bermukim selama 1 tahun (1685-1686 M), untuk menyebarkan agama
Islam secara hati-hati mengingat penduduk setempat waktu itu masih beragama
Hindu. Setahun kemudian ayahanda (Sembah LebeWarta Kusumah) meninggal dan
dimakamkan di kampung Dukuh di tepi Kali Cikaengan.
Beberapa hari seusai
pemakaman ayahandanya, beliau melanjutkan perjalan mencari gua dan sempat
bermukim di Batu Wangi. Perjalanan dilanjutkan dari Batu Wangi hingga sampai di
Lebaksiu dan bermukim di sana selama 4 tahun (1686-1690 M).
Walaupun di Lebaksiu
tidak menemukan gua yang di cari, beliau tidak putus asa dan melangkahkan
kakinya ke sebelah timur dari Lebaksiu yaitu di atas gunung kampung Cilumbu.
Akhirnya beliau turun ke lembah sambil bertafakur melihat indahnya pemandangan
sambil mencoba menanam padi.
Bila senja tiba,
beliau kembali ke Lebaksiu menjumpai keluarganya, karena jarak dari tempat ini
tidak begitu jauh, +.6 km. Suasana di pegunungan tersebut sering membawa
perasaan tenang, maka gunung tersebut diberi nama “ Gunung Mujarod' yang
berarti gunung untuk menenangkan hati.
Pada suatu hari,
Syeikh Abdul Muhyi melihat padi yang ditanam telah menguning dan waktunya untuk
dipetik. Saat dipetik terpancarlah sinar cahaya kewalian dan terlihatlah
kekuasaan Allah. Padi yang telah dipanen tadi ternyata hasilnya tidak lebih dan
tidak kurang, hanya mendapat sebanyak benih yang ditanam. Ini sebagai tanda
bahwa perjuangan mencari gua sudah dekat. Untuk meyakinkan adanya gua di
dalamnya maka di tempat itu ditanam padi lagi, sambil berdo'a kepada Allah,
semoga goa yang dicari segera ditemukan. Maka dengan kekuasan Allah, padi yang
ditanam tadi segera tumbuh dan waktu itu juga berbuah dan menguning, lalu
dipetik dan hasilnya ternyata sama, sebagaimana hasil panen yang pertama.
Disanalah beliau yakin bahwa di dalam gunung itu adanya goa.
Sewaktu Syeikh Abdul
Muhyi berjalan ke arah timur, terdengarlah suara air terjun dan kicaun burung
yang keluar dari dalam lubang. Dilihatnya lubang besar itu, di mana keadaannya
sama dengan gua yang digambarkan oleh gurunya. Seketika kedua tangannya
diangkat, memuji kebesaran Allah. Telah
ditemukan gua bersejarah, dimana ditempat ini dahulu Syeikh Abdul Qodir Al
Jailani menerima ijazah ilmu agama dari gurunya yang bernama Imam Sanusi.
Goa yang sekarang di
kenal dengan nama Goa Pamijahan
adalah warisan dari Syeikh Abdul Qodir Al Jailani yang hidup kurang lebih 200
tahun sebelum Syeikh Abdul Muhyi. Gua ini terletak diantara kaki Gunung
Mujarod. Sejak goa ditemukan Syeikh Abdul Muhyi bersama keluarga beserta
santri-santrinya bermukim disana. Disamping mendidik santrinya dengan ilmu
agama, beliau juga menempuh jalan tharekat.
Menurut pendapat yang
masyhur sampainya Syeikh Abdul Muhyi ke derajat kewalian melalui thoriqoh
mu’tabaroh Satariyah, yang silsilah keguruan/ kemursyidannya sampai kepada
Rasulullah Saw.
Berikut silsilahnya:
Rasululah Saw, Ali
Bin Abi Tholib, Sayyidina Hasan, Sayyidina Zainal Abidin, Imam Muhammad Bakir,
Imam Ja’far Shodiq, Sultan Arifin, Yazidiz Sulthon, Syeikh Muhammad Maghribi,
Syeikh Arabi Yazidil Asyiq, Sayyid Muhammmad Arif, Syeikh Abdulah Satari,
Syeikh Hidayatullah Syarmad, Syeikh Haji Hudori, Sayyid Muhammmad Ghoizi,
Sayyid Wajhudin, Sayyid Sifatullah, Sayyidina Abdi Muwhib Abdulah Ahmad, Syeikh
Ahmad Bin Muhammmad (Ahmad Qosos), Syeikh Abdul Rouf, Syeikh Haji Abdul Muhyi.
Sekian lama mendidik
santrinya di dalam goa, maka tibalah saatnya untuk menyebarkan agama Islam di
perkampungan penduduk. Di dalam perjalanan, sampailah di salah satu
perkampungan yang terletak di kaki gunung, bernama kampung Bojong. Selama
bermukim di Bojong dianugerahi beberapa putra dari istrinya, Ayu Bakta.
Diantara putra beliau adalah Dalem Bojong, Dalem Abdullah, Media Kusumah, Pakih
Ibrahim.
Beberapa lama setelah
menetap di Bojong, atas petunjuk dari Allah, Syeikh Abdul Muhyi beserta
santri-santrinya pindah ke daerah “Safarwadi".
Di sini beliau membangun Masjid dan rumah sebagai tempat tinggal sampai akhir
hayatnya. Sedang para santri menyebar dengan tugasnya masing-masing yaitu
menyebarkan agama Islam, seperti Sembah Khotib Muwahid yang makamnya di
Panyalahan, Eyang Abdul Qohar bermukim di Pandawa sedang Sembah Dalem
Sacaparana (Mertua Syeikh Abdul Muhyi) tetap di Bojong sampai akhir hayatnya
yang kini makamnya terkenal dengan nama Bengkok.
Makam ini banyak
diziarahi oleh kaum muslimin. Masih banyak lagi santrinya yang tersebar hingga
pelosok- pelosok kampung di sekitar Jawa Barat untuk menyebarkan agama Islam.
Dalam menyebarkan agama Islam Syeikh Abdul Muhyi mengunakan metode Tharekat Nabawiah yaitu dengan akhlak yang luhur disertai tauladan yang baik. Salah satu contoh metode dalam mengislamkan seseorang adalah sewaktu beliau melihat seseorang yang sedang memancing ikan. Namun orang itu kelihatan sedih karena tidak mendapat seekor ikanpun. Lalu dihampirinya dan disapa, "Bolehkah saya meminjam kailnya?" Orang itu memperbolehkannya. Syeikh Abdul Muhyi mulai memancing sambil berdo'a, "Bismillaah hirroh maa nir roohiim, Asyhadu Allaa ilaaha illallaah, Wa asy hadu anna Muhammaddur Rasulullah."
Setiap kail
dilemparkan ke dalam air, ikan selalu menangkapnya. Tidak lama kemudian ikan
yang didapat sangat banyak sekali sampai membuat orang tersebut keheranan dan
bertanya, "Apa do’a yang dibaca untuk memancing? Beliau menjawab, "Basmalah
dan Syahadat". Akhirnya orang tersebut tertarik dengan do’a itu dan
masuk Islam.
Disamping ahli dalam
llmu agama Syeikh Abdul Muhyi juga ahli dalam ilmu kedokteran, ilmu hisab, ilmu
pertanian dan juga ahli seni baca AIQur’an. Maka pada saat itu banyak para wali
yang datang ke Pamijaian untuk berdialog masalah agama seperti waliyullah dari
Banten Syeikh Maulana
Mansyur, putra Sultan Abdul Patah Tirtayasa keturunan Sultan Hasanuddin bin
Sultan G. Jatijuga Syeikh Ja’far Shodiq yang makamnya di Cibiuk, Limbangan-
Garut.
Dilarang
Merokok
Pada suatu hari
Syeikh Abdul Muhyi dan Maulana Mansyur berada di Makkah dan hendak pulang ke
Jawa. Mereka berdua berunding, barangsiapa yang sampai dulu di Jawa hendaklah
menunggu di tempat yang telah disepakati.
Syeikh Maulana
Mansyur berjalan diatas bumi dan Syeikh Abdul Muhyi berjalan di bawah bumi.
Masing- masing menggunakan kesaktiannya.
Ketika Syeikh Abdul
Muhyi berjalan di bawah laut tiba-tiba beliau kedinginan lalu berhenti. Sewaktu
hendak menyalakan api untuk merokok tiba-tiba sekelilingnya menjadi gelap
dikelilingi kabut dan kabut itu semakin tebal. Maka beliau teringat bahwa
merokok itu perbuatan makruh dan dirinya merasa berdosa.
Akhirnya beliau
segera bertaubat minta Ampunan dari Allah, seketika itu kabut hilang dan
perjalananpun dilanjutkan. Dan mulai saat itu Syeikh Abdul Muhyi meninggalkan rokok,
bahkan bisa dikatakan mengharamkan rokok untuk dirinya sedang untuk keluarga
dan pengikutnya dilarang merokok bila berdekatan dengannya. Karena itu sampai saat ini di daerah
Pamijahan dilarang merokok kecuali di tempat yang telah ditentukan.
Pada suatu hari
beliau jatuh sakit. Ketika malaikat maut datang menjemput Syeikh Abdul Muhyi
berpesan kepada istri dan putra- putrinya, "Wahai anak dan istri ku
yang tersayang, hendaklah kamu sekalian bertaqwa kepada Allah, berbaktiiah
kepada orang tua yang telah melahirkan dan membesarkanmu, hormati dan
mulyakanlah tamumu, bicaralah dengan benar, senangkanlah orang /ain, sekalipun
kamu tidak dapat menyenangkan orang janganlah berbuat yang menyusahkannya,
kasihanilah orang kecil, hormatilah orang yang besar dan hargailah sesamamu.
Hiduplah di dunia ini seakan mau melintasi jurang yang penuh dengan duri."
Pada hari senin
tanggai 8 Jumadil Awai tahun 1151 H/ 1730 M ba'dal sholat shubuh, belau pergi
untuk selamanya menghadap Allah swt. dalam usia 80 tahun. Jenazah ulama besar
ini dimakamkam di Pamijahan. Hingga saat ini banyak orang berduyun-duyun
berziarah ke makamnya sambil membacakan do'a sebagai wujud kecintaan terhadap
Syeikh Abdul Muhyi, seorang waliyullah yang telah berjuang menyebarkan agama
Islam di tanah air dan Jawa Barat pada khususnya.
Sekian Sejarah Goa
Safarwadi atau yang lebih di kenal dengan Goa Pamijahan Peninggalan Syeikh Abdul
Muhyi.
Mudah-mudahan
bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar