Jumat, 18 April 2014

Sejarah & Cerita Mistik Situ Buleud Purwakarta




Situ Buleud Purwakarta

  Konon, di Kabupaten Purwakarta banyak cerita mistik selama ini hidup berdampingan dengan sebagian masyarakatnya. Salah satunya adalah cerita-cerita mistik yang mewarnai lokasi Situ Buleud, di "jantung" Kota Purwakarta. Dalam buku yang dikeluarkan Pemda Kab. Purwakarta, secara historis dapatlah diceritakan bahwa Purwakarta tidak terlepas dari sejarah perjuangan melawan pasukan VOC.



Sekitar awal abad ke-17, Sultan Mataram mengirimkan sepasukan tentara yang dipimpin oleh Bupati Surabaya ke Jawa Barat dengan tujuan menundukkan Sultan Banten. Namun, dalam perjalanannya terbentur oleh pasukan VOC sehingga terpaksa mengundurkan diri.Setelah itu dikirimkan kembali ekspedisi kedua pasukan Mataram di bawah pimpinan Dipati Ukur dan ternyata mengalami nasib yang sama.Akhirnya, untuk menghambat perluasan wilayah kekuasaan Kompeni (VOC), Sultan Mataram mengutus Panembahan Galuh (Ciamis) bernama R.A.A. Wirasuta yang bergelar Adipati Panatayudha atau Adipati Kertabumi III guna menduduki Rangkas Sumedang (sebelah timur Citarum) dan mendirikan benteng pertahanan di Tanjungpura, Adiarsa, Parakan Sapi, dan Kuta Tandingan. Setelah mendirikan benteng tersebut, Adipati Kertabumi III kemudian kembali ke Galuh dan wafat. 





Nama Rangkas Sumedang itu sendiri berubah menjadi Karawang karena kondisi daerahnya berawa-rawa (Sunda = karawaan). Sultan Agung Mataram kemudian mengangkat putra Adipati Kertabumi III, yakni Adipati Kertabumi IV menjadi Dalem (bupati) di Karawang pada tahun 1656. Adipati Kertabumi IV ini dikenal juga sebagai Panembahan Singaperbangsa atau Eyang Manggung dan tinggal di ibu kota Karawang, Udug-Udug.



Namun, antara tahun 1679-1721, ibu kota Karawang pindah dari Udug-Udug ke Karawang Kota pada masa pemerintahan R. Anom Wirasuta, putra Panembahan Singaperbangsa, dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah antara Cihoe (Cibarusah) dan Cipunagara dengan gelar R.A.A. Panatayudha I. Pemerintahan Kabupaten Karawang berakhir sekira tahun 1811 sampai 1816 sebagai akibat dari peralihan penguasaan Hindia Belanda dari pemerintahan Belanda kepada pemerintahan Inggris.Kemudian, antara tahun 1819-1826, pemerintahan Belanda melepaskan diri dari pemerintahan Inggris.



Hal itu ditandai dengan upaya pengembalian kewenangan para bupati oleh Gubernur Jenderal van Der Capellen. Untuk itu, Kabupaten Karawang dihidupkan kembali pada sekira tahun 1820 dengan wilayah meliputi tanah yang terletak di sebelah timur Sungai Citarum/Cibeet dan sebelah barat Sungai Cipunagara, kecuali Onder Distrik Gandasoli (sekarang Kecamatan Plered) yang waktu itu termasuk Kabupaten Bandung. Sebagai bupati pertama Kabupaten Karawang yang dihidupkan kembali diangkat R.A.A. Surianata dari Bogor dengan gelar Dalem Santri yang kemudian memilih ibu kota kabupaten di Wanayasa.





Selanjutnya, pada masa pemerintahan Bupati R.A. Suriawinata atau Dalem Shalawat tahun 1830, ibu kota Kabupaten Karawang dipindahkan dari Wanayasa ke Sindang Kasih, yang selanjutnya diberi nama Purwakarta. Penetapan nama itu kalau dihitung jatuh pada tanggal 23 Agustus 1830 atau 4 Rabiul Awal 1250 Hijriah. Pembangunan dimulai antara lain dengan pengurugan rawa-rawa untuk pembuatan Situ Buleud, pembuatan gedung karesidenan, pendopo, masjid agung, tangsi tentara di Ceplak, termasuk membuat Selokan Gede, Sawah Lega, dan Situ Kamojing. 



Pembangunan berlanjut terus sampai pemerintah bupati berikutnya.Namun, menurut sebuah cerita, Bupati Suriawinata yang sering melakukan selawatan pada suatu malam bermimpi ada petunjuk yang mengatakan kepadanya bila ditemukan sebuah danau dengan tiga buah pohon tanjung maka di situlah letak ibu kota Kabupaten Karawang. Selanjutnya, ketika menerjunkan orang ke lapangan ternyata ditemukan sebuah danau dengan tiga buah pohon tanjung yang sekarang berada di Situ Buleud.





 Akhirnya karena Bupati Suriawinata merasa cocok dan aman, disebutlah ibu kota Kabupaten Karawang itu sebagai Purwakarta yang artinya purwa = mulai dan karta = aman atau 'mulai aman dari banyaknya aksi perampokan'. Jadi nama kabupatennya tetap Karawang dengan ibu kotanya bernama Purwakarta. Sementara itu, orang yang menjadi bupatinya merupakan turunan dari kerajaan Galuh Ciamis, seperti turunan dari Prabu Singaperbangsa, Panatayudha, dan seterusnya.



Cerita mistik Situ Buleud 






Seorang sesepuh Purwakarta yang juga Sekretaris Musyawarah Bersama Masyarakat Purwakarta dan anggota panitia penelusuran sejarah Purwakarta, R.H. Garsoebagdja Bratadidjaja, menjelaskan, pada zaman dahulu Situ Buleud merupakan tempat "pangguyangan" (berkubang) badak yang datang dari daerah Simpeureun dan Cikumpay serta dijadikan pula tempat minum bagi binatang lainnya. Situ Buleud terbentuk karena ada mata air ditambah air hujan. Kemudian, pada zaman Belanda diperbesar. Karena dikhawatirkan airnya terus surut, dibuatlah saluran irigasi dari daerah Pasawahan. 



Selanjutnya, Gar menceritakan sebenarnya Situ Buleud sering dipergunakan untuk acara-acara keramaian besar, seperti memperingati hari ulang tahun Raja Belanda ataupun keramaian lain. Kemudian dibuat panggung besar di tengah-tengah danaunya dan diadakanlah pesta besar sehingga rerumputan yang ada di sekelilingnya juga terus dipelihara. "Ini terjadi sebelum Perang Dunia II, sedangkan sekarang tidak ada lagi acara tersebut yang biasanya diramaikan dengan acara wayang golek ataupun calung," ujarnya.Pada zaman Belanda itulah, rakyat jelata tidak boleh menginjak rumput yang ada di sekeliling Situ Buleud karena merupakan tempat atau arena bermain para gegeden Belanda. Untuk menjaganya, dipercayakan kepada seorang upas bernama Sahro lengkap dengan pentungan karetnya. Ia seringkali berteriak-teriak untuk menakut-nakuti anak-anak yang bermain ke wilayah sekitar danau itu. Karena merasa takut dipentungi, anak-anak biasanya terus berlarian. Lebih dari itu, Situ Buleud dulu juga sering dijadikan tempat berenang.





 "Namun, sekarang tidak lagi bahkan sekarang suka ada jatuh korban anak-anak yang tenggelam, sedangkan dulu tidak pernah," ungkap Gar.Sementara itu, menyangkut cerita berbau mistik, menurut Gar, berdasarkan penuturan orang-orang tua dulu pada setiap subuh anak-anak seringkali bermain di sekitar Situ Buleud. Namun, mereka biasanya langsung berlarian manakala terdengar teriakan bahwa di tengah-tengah Situ Buleud muncul secara tiba-tiba bayang-bayang hitam besar. "Awas! Aya Kontol Bima. Aya Kontol Bima!"Bahkan, yang lebih seram lagi sempat pula ada cerita orang tua dulu bahwa di Situ Buleud itu ada "penunggu"-nya yang biasa disebut si Barong, yakni sesosok mahluk menyerupai bentuk kepala singa. Makhluk itu konon suka muncul secara tiba-tiba di tengah Situ Buleud. "Bila ada orang yang kawenehan (kebetulan melihat), akan terlihat sosok kepala singa besar," ungkap Garsubagdja.




Istana megah Sementara itu, seorang warga sekitar Situ Buleud bernama Andang (27), yang merupakan warga asli di sekitar danau tersebut, menceritakan, dulu sebagaimana diceritakan orang tuanya Situ Buleud memang merupakan tempat berkubang badak. Pada zaman Belanda diperbaiki dan dijadikan arena kegiatan hiburan. Ia juga mengetahui banyak cerita mistik di Situ Buleud. Menurutnya, bila kita punya "ilmu", ketika masuk dari pintu gerbang utama langsung terlihat berdirinya sebuah istana megah.




Pernah juga ada cerita bahwa suatu saat danau itu akan dikeringkan untuk diambil ikannya (bahasa Sunda = dibedahkeun). Pada malam hari sebelum danau itu dikeringkan, secara kebetulan jatuh pada malam Jumat, menurut cerita banyak ikan besarnya yang berjalan menuju sungai di sekitarnya. "Katanya, ikan itu merupakan ikan kajajaden atau bukan sembarang ikan," ungkapnya.Ada pula cerita, hampir setiap tahun selalu saja ada korban manusia yang menjadi wadal (tumbal) karena ada cerita bahwa danau itu ditunggui oleh Mbah Jambrong. Pada beberapa bulan lalu sempat pula ada seseorang yang menangkap ikan menggunakan jala, lalu tersangkut dan tercebur ke dalam danau hingga meninggal. Bahkan sebelumnya, banyak cerita yang dihubung-hubungkan dengan mistik seperti meninggalnya seorang pengusaha yang menyewa danau itu untuk dijadikan tempat rekreasi. "Selain itu, ada juga cerita tentang rumah peninggalan Belanda di sekitar danau yang sempat disewa oleh produser film 'Rojali dan Juleha' selama dua bulan, namun baru sebulan langsung hengkang. Pasalnya, banyak artisnya yang tidak tahan banyak yang pingsan dan kerasukan," ujarnya. 


Begitu banyak cerita mistik tentang Situ Buleud, namun semuanya tetap berpulang kepada kita. Yang jelas, pada tahun 1997 Pemda Purwakarta sempat merenovasi Situ Buleud hingga bisa dijadikan sarana lapangan olah raga berupa lari dan rekreasi. Lingkaran trek untuk lari setelah diukur panjangnya mencapai 920 meter, sedangkan panjang lingkaran trek luar pagar Situ Buleud 1.300 meter. Sementara itu, kedalaman Situ Buleud kini hanya sekira 3 meter dengan dasar tanah yang datar. Mata airnya sendiri sudah tidak ada lagi. Hal itu terlihat manakala terjadi musim kemarau yang panjang, di mana Situ Buleud kering hingga tanah dasarnya retak-retak. Menara lampu yang berada di tengah-tengah Situ Buleud sampai ada di dasar tanah karena air danau mengering.

Sekian Sejarah & Cerita mengenai Situ Buleud Purwakarta
Mudah-mudahan bermanfaat.

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar