Senin, 20 Oktober 2014

KENAPA BANK INDONESIA TIDAK MENCETAK UANG RUPIAH UNTUK MEMBAYAR UTANG ?

KENAPA BANK INDONESIA TIDAK MENCETAK RUPIAH UNTUK MEMBAYAR UTANG ?

Karena beberapa alasan berikut ini:
Dengan mencetak uang sebanyak-banyaknya, maka uang yang beredar di masyarakat akan jauh lebih besar dibandingkan jumlah barang. Akibatnya akan terjadi hiperinflasi, dimana harga barang akan jauh melambung.
Dasar mencetak uang, ya tentunya harus diperhitungkan nilai tukar idealnya. Pertimbangannya adalah nilai ekspor dan impor kita, permintaan dan penawaran terhadap mata uang asing, dsb. Karena itu ada yang dinamakan kebijakan moneter, yaitu kebijakan yang dilaksanakan pemerintah untuk menjaga stabilitas nilai mata uang negara tersebut.
Uang yang digunakan untuk membayar utang adalah dollar bukan rupiah, jadi kalau mencetak rupiah untuk membayar utang maka rupiah tidak laku. Dan kalau mencetak uang dollar maka itu namanya pemalsuan.
Daya beli masyarakat akan jatuh, mereka tidak sanggup membayar bahan kebutuhan hidup. Dampak susulannya adalah krisis ekonomi dan sosial. Kelaparan, kejahatan/kriminalitas, kerusuhan/penjarahan.
Barang dan bahan baku impor akan jauh melambung, sehingga akan mematikan sektor riil dan produksi dalam negeri. Dampak selanjutnya adalah efisiensi, PHK dan pengangguran meningkat.

Dalam menerbitkan atau mencetak uang, terdapat dua macam sistem, yang disebut “pseudo gold” dan “uang fiat”. Dalam sistem pseudo gold, uang yang dicetak dan beredar didukung dengan cadangan emas atau perak yang dimiliki badan yang menerbitkannya. Sedangkan dalam sistem uang fiat, uang yang beredar tidak didukung aset yang riil, bahkan tidak didukung apa-apa. Artinya, dalam sistem fiat, pemerintah atau badan yang menerbitkan uang bisa mencetak uang sebanyak apa pun sesuai keinginan.

Dalam ekonomi, kita tahu, harga barang akan tergantung pada perbandingan jumlah uang dan jumlah persediaan barang. Jika barang lebih banyak dari jumlah uang yang beredar, maka harga akan cenderung turun. Sebaliknya, jika jumlah barang lebih sedikit dibanding jumlah uang yang beredar, maka harga-harga akan cenderung naik. Karena itulah, pencetakan uang secara tak langsung juga ditentukan oleh hal tersebut, agar tidak terjadi inflasi.

Apabila suatu negara—dengan alasan miskin—mencetak uang sebanyak-banyaknya, yang terjadi bukan negara itu menjadi kaya, tetapi justru akan semakin miskin. Karena, ketika jumlah uang yang beredar semakin banyak, harga-harga barang akan melambung tinggi, dan inflasi terjadi. Akibatnya, meski uang dicetak terus-menerus, uang itu tidak bisa disebut kekayaan, karena nilainya terus merosot turun.

Indonesia pernah melakukan pencetakan uang dalam jumlah banyak, pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Karena pemerintah belum bisa maksimal memungut pajak dari rakyat waktu itu, Soekarno pun mengambil kebijakan untuk mencetak uang secara berlebih. Hasilnya tentu inflasi. Semakin banyak uang dicetak, harga barang semakin tinggi, dan terjadi hiperinflasi. Sampai akhirnya mahasiswa berdemonstrasi yang terkenal dengan sebutan Tritura (tiga tuntutan rakyat), yang salah satunya permintaan agar harga-harga diturunkan.

Kasus yang terbaru terjadi di Zimbabwe. Pada 2008, pemerintah Zimbabwe mengeluarkan kebijakan untuk mencetak uang dalam jumlah sangat banyak, yang ditujukan untuk memperbanyak pegawai negeri yang diharapkan akan mendukung pemerintah. Hasilnya adalah inflasi yang gila-gilaan. Negara itu bahkan memegang rekor dalam hal inflasi tertinggi di dunia, yaitu 2.200.000% (2,2 juta persen) pada 2008.

Sebegitu cepatnya tingkat inflasi terjadi, hingga kenaikan harga di Zimbabwe tidak terjadi dalam hitungan minggu atau bulan, tetapi menit bahkan detik. Dalam setiap beberapa detik, para pegawai di toko-toko Zimbabwe terus sibuk mengganti label-label harga pada barang-barang yang mereka jual, karena terus terjadi pergantian harga akibat inflasi yang menggila.

Pada 20 Juli 2008, Bank Sentral Zimbabwe bahkan menerbitkan pecahan uang senilai 100 milyar dollar, yang merupakan rekor pecahan uang dengan nominal terbesar di dunia. Uang dengan nominal besar itu, ironisnya, tidak memiliki nilai yang sama besarnya, karena digerus oleh inflasi akibat harga-harga yang melambung luar biasa tinggi. Untuk membeli sembako, misalnya, orang di Zimbabwe harus membawa uang sampai seember.

Jadi, negara miskin (ataupun negara yang tidak miskin) tidak mencetak uang dalam jumlah berlebihan, karena adanya pertimbangan seperti yang digambarkan di atas.

Lalu Kenapa Suatu Negara Tidak Mencetak Uang Sebanyak-Banyaknya?
Kalau membaca berita tentang hutang negara yang menumpuk serta angka kemiskinan yang sangat besar, mungkin terpikir oleh kita "bagaimana kalau Indonesia mencetak uang semaunya, untuk melunasi hutang negara maupun memberantas kemiskinan ataupun mengembalikan uang korupsi yang hilang". Beres kan?

Nah, seandainya pemerinta Republik Indonesia mencetak uang sebanyak banyaknya, semua rakyat dapat hujan uang. Timbul pertanyaan, siapa yang mau capek kerja sedangkan sudah ada jaminan uang untuk hari ini dan besok. Nah, kalau gitu siapa yang mau kerja jadi petani padahal uang sudah ada di tangan?

Misalkan, rakyat Indonesia tidak ada yang mau jadi petani. Lalu kita mau maka apa sedangkan makanan pokok berasal dari sektor pertanian? Akibatnya akan terjadi inflasi, yaitu kenaikan harga barang barang di pasaran.

Rasio antara uang yang dicetak dan jumlah uang yang beredar adalah salah satu cara menentukan nilai suatu uang. Makanya, bila uang yang beredar ditambah tapi jaminannya tidak ditambah maka nilai uang akan turun (inflasi). Akibatnya bila biasanya Rp. 1.000 bisa membeli x barang, setelah uang mengalami inflasi Rp.1.000 hanya bila membeli 1/2 x.

Dengan kata lain jumlah uangnya banyak tapi nilainya tidak ada, kalau nilainya tidak ada maka negara lain tidak ada mau menerima uang kita. ujung-ujungnya utang tidak akan pernah terbayar.

Jadi inilah alasannya kenapa pemerintah tidak bisa seenaknya mencetak uang sebanyak banyaknya: karena uang dicetak sebanyak-banyaknya maka para pedagang selalu akan menaikkan harga. Lagipula, pikir mereka. yang beli uangnya lebih banyak dari sebelumnya

Efek ini terus berulang bagai lingkaran setan sehingga sebagian besar harga barang akan mengalami kenaikan harga padahal barangnya sama persis seperti sebelumnya. Inlah yang dilihat sebagai jatuhnya nilai mata uang dimana nilai tukar uang terhadap barang turun (karena harga barang naik).

Dus, karena harga barang naik, maka akan ada semakin banyak orang miskin. Itulah yang aakan terlihat apabila inflasi tidak terkendali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar