Sabtu, 15 Februari 2014

Sejarah Panjalu Ciamis

Pasucian Bumi Alit atau lebih populer disebut Bumi Alit saja, mulai dibangun sebagai tempat penyimpanan pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora oleh Prabu Rahyang Kancana di Dayeuh Nagasari, Ciomas. Kata-kata bumi alit dalam Bahasa Sunda berarti "rumah kecil" .
Benda-benda pusaka yang tersimpan di Bumi Alit itu antara lain adalah:
1. Pedang, cinderamata dari Baginda Ali RA, sebagai senjata yang digunakan untuk pembela diri dalam rangka menyebarluaskan agama Islam.
2. Cis, berupa tombak bermata dua atau dwisula yang berfungsi sebagai senjata pelindung dan kelengkapan dalam berdakwah atau berkhutbah dalam rangka menyebarluaskan ajaran agama Islam.
3. Keris Komando, senjata yang digunakan oleh Raja Panjalu sebagai penanda kedudukan bahwa ia seorang Raja Panjalu.
4. Keris, sebagai pegangan para Bupati Panjalu.
5. Pancaworo, digunakan sebagai senjata perang pada zaman dahulu.
6. Bangreng, digunakan sebagai senjata perang pada zaman dahulu.
7. Gong kecil, digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan rakyat pada zaman dahulu.
8. Kujang, senjata perang khas Sunda peninggalan seorang petapa sakti bernama Pendita Gunawisesa Wiku Trenggana (Aki Garahang) yang diturunkan kepada para Raja Panjalu.

Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Wirapraja bangunan Bumi Alit dipindahkan dari Dayeuh Nagasari, Ciomas ke Dayeuh Panjalu seiring dengan perpindahan kediaman Bupati Tumenggung Wirapraja ke Dayeuh Panjalu. Pasucian Bumi Alit dewasa ini terletak di Kebon Alas, Alun-alun Panjalu.
Pada awalnya Bumi Alit berupa taman berlumut yang dibatasi dengan batu-batu besar serta dilelilingi dengan pohon Waregu. Bangunan Bumi Alit berbentuk mirip lumbung padi tradisional masyarakat Sunda berupa rumah panggung dengan kaki-kaki yang tinggi, rangkanya terbuat dari bambu dan kayu berukir dengan dinding terbuat dari bilik bambu sedangkan atapnya berbentuk seperti pelana terbuat dari ijuk.
Ketika di Jawa Barat terjadi pengungsian akibat pendudukan tentara Jepang (1942-1945) benda-benda pusaka yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit itu diselamatkan ke kediaman sesepuh tertua keluarga Panjalu yaitu Raden Hanafi Argadipradja, cucu Raden Demang Aldakusumah di Kebon Alas, Panjalu.
Begitu pula ketika wilayah Jawa Barat berkecamuk pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam  Indonesia) pimpinan S.M. Kartosuwiryo(1949-1962) yang marak dengan perampokan, pembantaian dan pembakaran rumah penduduk. Para pemberontak DI/TII itu sempat merampas benda-benda pusaka kerajaan Panjalu dari Bumi Alit. Pusaka-pusaka itu kemudian baru ditemukan kembali oleh aparat TNI di hutan Gunung Sawal lalu diserahkan kepada Raden Hanafi Argadipradja, kecuali pusaka Cis sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya.




Pada tahun 1955, Bumi Alit dipugar oleh warga dan sesepuh Panjalu yang bernama R.H. Sewaka (M. Sewaka) mantan Gubernur Jawa Barat (1947-1948, 1950-1952). Hasil pemugaran itu menjadikan bentuk bangunan Bumi Alit yang sekarang, berupa campuran bentuk mesjid zaman dahulu dengan bentuk modern, beratap susun tiga. Di pintu masuk Museum Bumi Alit terdapat patung ular bermahkota dan di pintu gerbangnya terdapat patung kepala gajah. Hingga kini, pemeliharaan Museum Bumi Alit dilakukan oleh Pemerintah Desa Panjalu yang terhimpun dalam ‘Wargi Panjalu’ di bawah pengawasan Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Ciamis.


Daftar Para Batara, Raja, Bupati dan Demang Panjalu Beserta Pusara/Petilasannya
1. Batara Tesnajati di Karantenan Gunung Sawal.
2. Batara Layah di Karantenan Gunung Sawal.
3. Batara Karimun Putih di Pasir Kaputihan Gunung Sawal.
4. Prabu Sanghyang Rangga Gumilang atau Sanghyang Rangga Sakti di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
5. Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
6. Prabu Sanghyang Cakradewa di Cipanjalu, Desa Maparah, Panjalu.
7. Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II di Cimalaka Gunung Tampomas, Sumedang.
8. Prabu Sanghyang Borosngora (adik Sanghyang Lembu Sampulur II) di Jampang Manggung, Sukabumi.
9. Prabu Rahyang Kuning di Kapunduhan Cibungur, Desa Kertamandala, Panjalu.
10. Prabu Rahyang Kancana (adik Prabu Rahyang Kuning) di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
11. Prabu Rahyang Kuluk Kukunangteko di Cilanglung Desa simpar, Panjalu.
12. Prabu Rahyang Kanjut Kadali Kancana di Sareupeun, Desa Hujungtiwu, Panjalu.
13. Prabu Rahyang Kadacayut Martabaya di Hujung Winangun, Situ Lengkong Panjalu.
14. Prabu Rahyang Kunang Natabaya di Ciramping, Desa Simpar, Panjalu.
15. Raden Arya Sumalah di Buninagara, Desa Simpar, Panjalu.
16. Pangeran Arya Sacanata (adik R. Arya Sumalah) di Nombo Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.
17. Raden Arya Wirabaya (anak R. Arya Sumalah) di Cilamping, Panjalu.
18. Raden Tumenggung Wirapraja (anak R. Arya Wirabaya) di Kebon Alas Warudoyong, Panumbangan Ciamis.
19. Raden Tumenggung Cakranagara I (anak R. Arya Wiradipa bin Pangeran Arya Sacanata) di Cinagara, Panjalu.
20. Raden Tumenggung Cakranagara II di Puspaligar, Panjalu.
21. Raden Tumenggung Cakranagara III di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.
22. Raden Demang Sumawijaya di Nusa Larang, Situ Lengkong Panjalu.


Nyangku
Nyangku adalah suatu rangkaian prosesi adat penjamasan (penyucian) benda-benda pusaka peninggalan Prabu Sanghyang Borosngora dan para Raja serta Bupati Panjalu penerusnya yang tersimpan di Pasucian Bumi Alit. Istilah Nyangku berasal dari kata bahasa Arab "yanko" yang artinya membersihkan, mungkin karena kesalahan pengucapan lidah orang Sunda sehingga entah sejak kapan kata yanko berubah menjadi nyangku.Upacara Nyangku ini dilaksanakan pada Hari Senin atau Kamis terakhir Bulan Maulud (Rabiul Awal).
Dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan untuk pelaksanaan upacara Nyangku ini pada jaman dahulu biasanya semua keluarga keturunan Panjalu menyediakan beras merah yang harus dikupas dengan tangan, bukan ditumbuk sebagaimana biasa. Beras merah ini akan digunakan untuk membuat tumpeng dan sasajen (sesaji). Pelaksanaan menguliti gabah merah dimulai sejak tanggal 1 Mulud sampai dengan satu hari sebelum pelaksanaan Nyangku.


Dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan untuk pelaksanaan upacara Nyangku ini pada jaman dahulu biasanya semua keluarga keturunan Panjalu menyediakan beras merah yang harus dikupas dengan tangan, bukan ditumbuk sebagaimana biasa. Beras merah ini akan digunakan untuk membuat tumpeng dan sasajen (sesaji). Pelaksanaan menguliti gabah merah dimulai sejak tanggal 1 Mulud sampai dengan satu hari sebelum pelaksanaan Nyangku.



Disamping itu, semua warga keturunan Panjalu melakukan ziarah ke makam Raja-raja Panjalu dan bupati-bupati penerusnya terutama makam Prabu Rahyang Kancana di Nusa Larang Situ Lengkong. Kemudian Kuncen (juru Kunci) Bumi Alit atau beberapa petugas yang ditunjuk panitia pelaksanaan Nyangku melakukan pengambilan air suci untuk membersihkan benda-benda pusaka yang berasal dari tujuh sumber mata air, yaitu:
1. Sumber air Situ Lengkong
2. Sumber air Karantenan Gunung Sawal
3. Sumber air Kapunduhan (makam Prabu Rahyang Kuning)
4. Sumber air Cipanjalu
5. Sumber air Kubang Kelong
6. Sumber air Pasanggrahan
7. Sumber air Bongbang Kancana
Bahan-bahan lain yang diperlukan dalam pelaksanan upacara Nyangku adalah tujuh macam sesaji termasuk umbi-umbian, yaitu:
1. Tumpeng nasi merah
2. Tumpeng nasi kuning
3, Ayam panggang
4. Ikan dari Situ Lengkong
5. Sayur daun kelor
6. Telur ayam kampung
7. Umbi-umbian
Selanjutnya disertakan pula tujuh macam minuman, yaitu:
1. Kopi pahit
2. Kopi manis
3. Air putih
4. Air teh
5. Air Mawar
6. Air Bajigur
7. Rujak Pisang




Kelengkapan prosesi adat lainnya adalah sembilan payung dan kesenian gembyung untuk mengiringi jalannya upacara.
Pada malam harinya sebelum upacara Nyangku, dilaksanakanlah acara Muludan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dihadiri oleh para sesepuh Panjalu serta segenap masyarakat yang datang dari berbagai pelosok sehingga suasana malam itu benar-benar meriah, apalagi biasanya di alun-alun Panjalu juga diselenggarakan pasar malam yang semarak.
Keesokan paginya dengan berpakaian adat kerajaan para sesepuh Panjalu berjalan beriringan menuju Bumi Alit tempat benda-benda pusaka disimpan. Kemudian dibacakan puji-pujian dan shalawat Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya benda-benda pusaka yang telah dibalut kain putih mulai disiapkan untuk diarak menuju tempat penjamasan. Perjalannya didiringi dengan irama gembyung (rebana) dan pembacaan Shalawat Nabi.
Setibanya di Situ Lengkong, dengan menggunakan perahu rombongan pembawa benda-benda pusaka itu menyeberang menuju Nusa Larang dengan dikawal oleh dua puluh perahu lainnya. Pusaka-pusaka kemudian diarak lagi menuju bangunan kecil yang ada di Nusa Larang. Benda-benda pusaka itu kemudian diletakan diatas alas kasur yang khusus disediakan untuk upacara Nyangku ini. Selanjutnya benda-benda pusaka satu persatu mulai dibuka dari kain putih pembungkusnya.
Setelah itu benda-benda pusaka segera dibersihkan dengan tujuh sumber mata air dan jeruk nipis, dimulai dengan pedang pusaka Prabu Sanghyang Borosngora dan dilanjutkan dengan pusaka-pusaka yang lain.
Tahap akhir, setelah benda-benda pusaka itu selesai dicuci lalu diolesi dengan minyak kelapa yang dibuat khusus untuk keperluan upacara ini, kemudian dibungkus kembali dengan cara melilitkan janur lalu dibungkus lagi dengan tujuh lapis kain putih dan diikat dengan memakai tali dari benang boeh. Setelah itu baru kemudian dikeringkan dengan asap kemenyan lalu diarak untuk disimpan kembali di Pasucian Bumi Alit.
Upacara adat Nyangku ini mirip dengan upacara Sekaten di Yogyakarta juga  Panjang Jimat di Cirebon, hanya saja selain untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, acara Nyangku juga dimaksudkan untuk mengenang jasa Prabu Sanghyang Borosngora yang telah menyampaikan ajaran Islam kepada rakyat dan keturunannya.
Tradisi Nyangku ini konon telah dilaksanakan sejak zaman pemerintahan Prabu Sanghyang Borosngora, pada waktu itu, Sang Prabu menjadikan prosesi adat ini sebagai salah satu media Syiar Islam bagi rakyat Panjalu dan sekitarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar