Mempelajari sejarah dan kebudayaan Panjalu tidak akan lepas dari
berbagai tradisi, legenda, dan mitos yang menjadi dasar nilai-nilai
kearifan budaya lokal, salah satunya adalah mitos Maung Panjalu (Harimau
Panjalu). Sekelumit kisah mengenai Maung Panjalu adalah berlatar
belakang hubungan dua kerajaan besar di tanah Jawa yaitu Pajajaran
(Sunda) dan Majapahit.
Menurut Babad Panjalu kisah Maung Panjalu berawal dari Dewi
Sucilarang puteri Prabu Siliwangi yang dinikahi Pangeran Gajah Wulung
putera mahkota Raja Majaphit Prabu Brawijaya yang diboyong ke Keraton
Majapahit. Dalam kisah-kisah tradisional Sunda nama Raja-raja Pajajaran
(Sunda) disebut secara umum sebagai Prabu Siliwangi sedangkan nama
Raja-raja Majapahit disebut sebagai Prabu Brawijaya.
Ketika Dewi Sucilarang telah mengandung dan usia kandungannya semakin
mendekati persalinan, ia meminta agar dapat melahirkan di tanah
kelahirannya di Pajajaran, sang pangeran mau tidak mau harus menyetujui
permintaan isterinya itu dan diantarkanlah rombongan puteri kerajaan
Pajajaran itu ke kampung halamannya disertai pengawalan tentara
kerajaan.
Suatu ketika iring-iringan tiba di kawasan hutan belantara
Panumbangan yang masuk ke dalam wilayah Kerajaan Panjalu dan berhenti
untuk beristirahat mendirikan tenda-tenda. Di tengah gelapnya malam
tanpa diduga sang puteri melahirkan dua orang putera-puteri kembar, yang
lelaki kemudian diberi nama Bongbang Larang sedangkan yang perempuan
diberi nama Bongbang Kancana. Ari-ari kedua bayi itu disimpan dalam
sebuah pendil (wadah terbuat dari tanah liat) dan diletakkan di atas sebuah batu besar.
Kedua bocah kembar itu tumbuh menuju remaja di lingkungan Keraton
Pakwan Pajajaran. Satu hal yang menjadi keinginan mereka adalah mengenal
dan menemui sang ayah di Majapahit, begitu kuatnya keinginan itu
sehingga Bongbang Larang dan Bongbang Kancana sepakat untuk minggat, pergi secara diam-diam menemui ayah mereka di Majapahit.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh mereka tiba dan
beristirahat di belantara kaki Gunung Sawal, Bongbang Larang dan
Bongbang Kancana yang kehausan mencari sumber air di sekitar tempat itu
dan menemukan sebuah pendil berisi air di atas sebuah batu besar yang sebenarnya adalah bekas wadah ari-ari mereka sendiri.
Bongbang Larang yang tak sabar langsung menenggak isi pendil itu dengan lahap sehingga kepalanya masuk dan tersangkut di dalam pendil
seukuran kepalanya itu. Sang adik yang kebingungan kemudian menuntun
Bongbang Larang mencari seseorang yang bisa melepaskan pendil itu dari
kepala kakaknya. Berjalan terus kearah timur akhirnya mereka bertemu
seorang kakek bernama Aki Ganjar, sayang sekali kakek itu tidak kuasa
menolong Bongbang Larang, ia kemudian menyarankan agar kedua remaja ini
menemui Aki Garahang di pondoknya arah ke utara.
Aki Garahang yang ternyata adalah seorang pendeta bergelar Pendita Gunawisesa Wiku Trenggana itu lalu memecahkan pendil
dengan sebuah kujang sehingga terbelah menjadi dua (kujang milik sang
pendeta ini sampai sekarang masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit).
Karena karomah atau kesaktian sang pendeta, maka pendil yang terbelah dua itu yang sebelah membentuk menjadi selokan Cipangbuangan, sedangkan sebelah lainnya menjadi kulah (kolam mata air) bernama Pangbuangan.
Sebagai tanda terima kasih, kedua remaja itu kemudian mengabdi kepada
Aki Garahang di padepokannya, sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke
Majapahit. Suatu ketika sang pendeta bepergian untuk suatu keperluan dan
menitipkan padepokannya kepada Bongbang Larang dan Bongbang Kancana dan
berpesan agar tidak mendekati kulah yang berada tidak jauh dari padepokan.
Kedua remaja yang penuh rasa ingin tahu itu tak bisa menahan diri
untuk mendatangi kulah terlarang yang ternyata berair jernih, penuh
dengan ikan berwarna-warni. Bongbang Larang segera saja menceburkan diri
kedalam kulah itu sementara sang adik hanya membasuh kedua tangan dan
wajah sambil merendamkan kedua kakinya.
Betapa terkejutnya sang adik ketika Bongbang Larang naik ke darat
ternyata wajah dan seluruh tubuhnya telah ditumbuhi bulu seperti seekor
harimau loreng. Tak kalah kagetnya ketika Bongbang Kancana bercermin ke
permukaan air dan ternyata wajahnya pun telah berubah seperti harimau
sehingga tak sadar menceburkan diri kedalam kulah. Keduanyapun kini berubah menjadi dua ekor harimau kembar jantan dan betina.
Hampir saja kedua harimau itu akan dibunuh oleh Aki Garahang karena
dikira telah memangsa Bongbang Larang dan Bongbang Kancana. Namun ketika
mengetahui kedua harimau itu adalah jelmaan dua putera-puteri kerajaan
Pajajaran yang menjaga padepokannya sang Pendeta tidak bisa berbuat
apa-apa. Ia berpendapat bahwa kejadian itu sudah menjadi kehendak Yang
Mahakuasa, ia berpesan agar kedua harimau itu tidak mengganggu hewan
peliharaan orang Panjalu, apalagi kalau mengganggu orang Panjalu maka
mereka akan mendapat kutukan darinya.
Kedua harimau jejadian itu berjalan tak tentu arah hingga tiba di
Cipanjalu, tempat itu adalah kebun milik Kaprabon Panjalu yang ditanami
aneka sayuran dan buah-buahan. Di bagian hilirnya terdapat pancuran
tempat pemandian keluarga Kerajaan Panjalu. Kedua harimau itu tak
sengaja terjerat oleh sulur-sulur tanaman paria oyong (sayuran sejenis terong-terongan) lalu jatuh terjerembab kedalam gawul
(saluran air tertutup terbuat dari batang pohon nira yang dilubangi)
sehingga aliran air ke pemandian itu tersumbat oleh tubuh mereka.
Prabu Sanghyang Cakradewa terheran-heran ketika melihat air pancuran
di pemandiannya tidak mengeluarkan air, ia sangat terkejut manakala
diperiksa ternyata pancurannya tersumbat oleh dua ekor harimau. Hampir
saja kedua harimau itu dibunuhnya karena khawatir membahayakan
masyarakat, tapi ketika mengetahui bahwa kedua harimau itu adalah
jelmaan putera-puteri Kerajaan Pajajaran, sang Prabu menjadi jatuh iba
dan menyelamatkan mereka dari himpitan saluran air itu.
Sebagai tanda terima kasih kedua harimau itu bersumpah dihadapan
Prabu Sanghyang Cakradewa bahwa mereka tidak akan mengganggu orang
Panjalu dan keturunannya, bahkan bila diperlukan mereka bersedia datang
membantu orang Panjalu yang berada dalam kesulitan. Kecuali orang
Panjalu yang meminum air dengan cara menenggak langsung dari tempat air
minum (teko, ceret, dsb), orang Panjalu yang menanam atau memakan paria
oyong, orang Panjalu yang membuat gawul (saluran air tertutup), maka orang-orang itu berhak menjadi mangsa harimau jejadian tersebut.
Selanjutnya kedua harimau kembar itu melanjutkan perjalanan hingga
tiba di Keraton Majapahit dan ternyata setibanya di Majapahit sang ayah
telah bertahta sebagai Raja Majapahit. Sang Prabu sangat terharu dengan
kisah perjalanan kedua putera-puteri kembarnya, ia kemudian
memerintahkan Bongbang Larang untuk menetap dan menjadi penjaga di
Keraton Pajajaran, sedangkan Bongbang Kancana diberi tugas untuk menjaga
Keraton Majapahit.
Pada waktu-waktu tertentu kedua saudara kembar ini diperkenankan
untuk saling menjenguk. Maka menurut kepercayaan leluhur Panjalu, kedua
harimau itu selalu berkeliaran untuk saling menjenguk pada setiap bulan
Maulud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar