Terdapat beberapa daya tarik wisata yang
ditawarkan antara lain obyek wisata dan daya tarik wanawisata dengan
areal seluas kurang lebih 120 hektare di bawah pengelolaan Perum
Perhutani.
Obyek yang lainnya seluas kurang lebih 3
hektar berupa pemandian air panas (Cipanas) lengkap dengan fasilitas
kolam renang, kamar mandi dan bak rendam air panas. Gunung Galunggung
mempunyai Hutan Montane 1.200 – 1.500 meter dan Hutan Ericaceous > 1.500 meter.
Gunung Galunggung tercatat pernah meletus pada tahun 1822. Tanda-tanda awal letusan diketahui pada bulan Juli 1822, di mana air Cikunir menjadi keruh dan berlumpur.
Hasil pemeriksaan kawah menunjukkan bahwa air keruh tersebut panas dan kadang muncul kolom asap dari dalam kawah.
Kemudian pada tanggal 8 Oktober s.d. 12
Oktober, letusan menghasilkan hujan pasir kemerahan yang sangat panas,
abu halus, awan panas, serta lahar.
Aliran lahar bergerak ke arah tenggara mengikuti aliran-aliran sungai. Letusan ini menewaskan 4.011 jiwa dan menghancurkan 114 desa, dengan kerusakan lahan ke arah timur dan selatan sejauh 40 km dari puncak gunung.
Letusan tahun 1894
Letusan Gunung Galunggung berikutnya terjadi pada tahun 1894.
Di antara tanggal 7-9 Oktober, terjadi letusan yang menghasilkan awan panas.
Lalu pada tanggal 27 dan 30 Oktober,
terjadi lahar yang mengalir pada alur sungai yang sama dengan lahar yang
dihasilkan pada letusan 1822.
Letusan kali ini menghancurkan 50 desa, sebagian rumah ambruk bukan karena letusan langsung, namun karena tertimpa oleh hujan abu yang tebal.Letusan tahun 1918
Pada tahun 1918, di awal bulan Juli, letusan berikutnya terjadi, diawali dengan gempa bumi.
Letusan tanggal 6 Juli ini menghasilkan hujan abu setebal 2-5 mm yang terbatas di dalam kawah dan lereng selatan.
Dan pada tanggal 9 Juli, tercatat
pemunculan kubah lava di dalam danau kawah setinggi 85m dengan ukuran
560×440 m yang kemudian dinamakan Gunung Jadi.
Letusan tahun 1982
Letusan terakhir terjadi pada tanggal 5 Mei 1982 disertai suara dentuman, pijaran api, dan kilatan halilintar. Kegiatan letusan berlangsung selama 9 bulan dan berakhir pada 8 Januari 1983.
Selama periode letusan ini, sekitar 18 orang meninggal,
sebagian besar karena sebab tidak langsung (kecelakaan lalu lintas,
usia tua, kedinginan dan kekurangan pangan). Perkiraan kerugian sekitar
Rp 1 milyar dan 22 desa ditinggal tanpa penghuni.
Letusan pada periode ini juga telah
menyebabkan berubahnya peta wilayah pada radius sekitar 20 km dari kawah
Galunggung, yaitu mencakup Kecamatan Indihiang, Kecamatan Sukaratu dan
Kecamatan Leuwisari.
Perubahan peta wilayah tersebut lebih
banyak disebabkan oleh terputusnya jaringan jalan dan aliran sungai
serta areal perkampungan akibat melimpahnya aliran lava dingin berupa
material batuan-kerikil-pasir.
Pada periode pasca letusan (yaitu sekitar
tahun 1984-1990) merupakan masa rehabilitasi kawasan bencana, yaitu
dengan menata kembali jaringan jalan yang terputus.
Dilakukan pengerukan lumpur/pasir pada
beberapa aliran sungai dan saluran irigasi (khususnya Cikunten I),
kemudian dibangunnya check dam (kantong lahar dingin) di daerah Sinagar
sebagai ‘benteng’ pengaman melimpahnya banjir lahar dingin ke kawasan
Kota Tasikmalaya.
Pada masa tersebut juga dilakukan
eksploitasi pemanfaatan pasir Galunggung yang dianggap berkualitas untuk
bahan material bangunan maupun konstruksi jalan raya.
Pada tahun-tahun kemudian hingga saat ini
usaha pengerukan pasir Galunggung tersebut semakin berkembang, bahkan
pada awal perkembangannya (sekitar 1984-1985) dibangun jaringan jalan
Kereta Api dari dekat Station KA Indihiang (Kp. Cibungkul-Parakanhonje)
ke check dam Sinagar sebagai jalur khusus untuk mengangkut pasir dari
Galunggung ke Jakarta.
Sekian Sekilas tentang sejarah letusan Gunung Galunggung di Tasikmalaya Jawa Barat.
Mudah-mudahan Bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar